Minggu, 30 Juli 2006

SEKEPING HATI

Bayangnya tak pernah hadir dalam mimpiku
asal-usulnya tak pernah terukir dalam angan kehidupanku
wajahnya tak pernah terlukis dalam kanvas penglihatanku
geraknya tak hadir dalam renungku
namun hadirnya mampu memberi warna dalam hidupku

Kadang hati ini mencoba meraba,
sketsa wajahnya…
sigap geraknya, bayangnya…
namun sungguh, aku takut melukiskan semua itu dalam angan
ffhhh…! aku tak ingin mengacaukan hati ini…

Mencoba mengenalnya dari cara berfikirnya,
memahami mimpi-mimpinya…
tak kupungkiri bahwa sosok revolusioner itu ada padanya,
tapi menyimpulkan bahwa sosok revolusioner itu adalah lelaki yang Allah tetapkan untuk menemani mewujudkan mimpi-mimpiku,
menjadi qowwam dalam kehidupanku, menjadi ayah dari anak-anakku kelak…?!
Entahlah…aku pun tak tau jawaban dari semua pertanyaan yang berkecamuk dalam batinku

Kutitipkan jawab pada Sang Pemilik Masa,
biarlah kelak waktu hamparkan jawabnya…
Apakah sosok revusioner itu adalah mentari yang selalu setia menemani hariku,
menghangatkan hari demi hari yang kulalui dengan sinar lembutnya,
meski kadang ada kalanya sang mentari beristirahat dalam selimut malam
dan mentari pasti akan kembali bersinar cerah esok pagi…
Ataukah sosok revolusioner itu pelangi jingga yang indah menyapa di suatu senja,
bagian dari sedikit waktu yang Allah titikan melalui usia….

Jika memang dia adalah matahariku, niscaya dia akan “datang” dengan cara yang bersih,
suatu hari nanti; entah esok atau lusa…aku pun tak tau……
Tapi jika dia hanya pelangi jingga yang datang sejenak,
memberi warna indah dalam perjalanan kehidupanku…
Aku tetap bersyukur pada-Nya bahwa sosok revolusioner itu --dengan segala kelemahan dan potensi yang ia miliki-- pernah menjadi bagian dari proses pembelajaranku
untuk menjadi kebanggaan Allah dan Rasul-Nya di yaumil akhir kelak

Apapun endingnya, aku tak pernah merasa menyesal telah mengenalnya
karena banyak hal yang kupelajari darinya
dan semoga hadirku pun memberi kontribusi kebaikan untuknya…
Tidak ada peristiwa yang tersia --karena tak ada sesuatu
yang Allah ciptakan dengan sia2--
selalu ada ibrah yang dapat diambil,
bagi mereka yang mau merenung dan mengambil pelajaran
berharap aku
adalah pembelajar sejati
…dan biarlah waktu bentangkan jawabnya……

@resahku, 280706


Selengkapnya...

TITIK TOLAK

Ketika mereka telah menemukan titik tolak dari keterpurukan pada masa-masa sulit yang kami hadapi, untuk kembali melejit….memberi amal-amal terbaik hanya untuk Allah…..
Aku tak ingin sendiri, diam dan terpaku dalam kenangan atas kegemilangan masa lalu. Aku tak ingin menjadi yang tertinggal, sungguh…aku pun ingin bangkit!
Jika pernah kita merasakan masa sulit dalam keterpurukan, kini kalian menemukan penawar bagi luka yang dirasakan, luka sama yang juga kurasakan
Jika aku pernah berfikir untuk menjauh sejenak untuk meraih mimpi dan mengobati luka, melihat dunia dan belajar banyak hal di luar sana tapi setelah merenung dan memikirkan banyak hal kini aku berubah fikiran…..
Jikalau kesulitan dan keterlukaan adalah mahar dari kekuatan, kebesaran dan kematangan jiwa maka aku memilih untuk melalui hari-hari sulit itu –setidaknya untuk beberapa saat, sampai kebutuhan akan ilmu yang dimili dapat digantikan orang lain-
Aku akan bangkit dan bertolak dari sini, di tempat yang sama di mana luka itu ada….
Namun yang pasti aku akan bangkit bersama kalian, bersama kita berlari menuju cinta dan keridha’an-Nya

Kelak akan Allah gantikan pedihnya luka dan sulitnya masa yang dilalui dengan sebaik-baik balasan, insyaAllah!
@270706

Selengkapnya...

Senin, 24 Juli 2006

Kalo Rezeki, Ga Bakal Lari Kemana….

Acara Talk Show tentang Pendidikan Anak dalam rangka Hari Anak Nasional kali salah satu pembicaranya adalah Pak Cah (Ust. Cahyadi Takariawan). Beberapa saat menjelang acara dimulai, seorang –yang sepertinya pembicara dari luar Pontianak- masuk aula tempat acara digelar ehm..tapi koq kaya’nya bukan Pak Cah ya….?! Sepertinya Pak Cah ga bisa datang dan digantikan dengan orang lain. Ku sikut mbak Fitri –temen satu DPC, dulu kuliah di Yogya- yang duduk di sebelah. “Mbak, itu bukan Pak Cah? Koq lebih muda ya..?! Kaya’nya bukan Pak Cah deh!”. “iya..tapi ustad siapa ya, kaya’nya kenal… Wajahnya ga asing” jawab mbak Fitri. “Ehm..kaya’ Ust. Nono deh” lanjutnya.
Karena MC langsung membuka acara, kami langsung mingkem menghentikan pertanyaan-pertanyaan yang masih belum terjawab. Tapi mendengar nama Ust. Nono yang disebutkan mbak Firti, ingatan ku melayang pada waktu silaturahim ke Yogya dua tahun lalu. Acara pembukaan berlangsung, file di kepala “memutar” percakapan pada pagi di mana aku akan berangkat ke Jakarta malam harinya. “Mbak, besok ada acara loh di Masjid Mardhiyah.. yang ngisi Ust. Nono. Rugi banget deh klo mbak ga dateng. Jarang-jarang loh Ust. Nono ngisi sekarang kan beliau udah jadi anggota dewan” kira-kira begitulah yang diucapkan Shinta, berusaha merayu supaya aku mengundur waktu keberangkatan. “Pengennya sih, tapi yang nganter bisanya ntar malem Shin..” jawabku. “Rugi loh, dah jauh-jauh dari Pontianak ga ikut kajiannya Ust. Nono, orangnya asyik banget” Shinta makin gencar aja membujuk. Aku sempet ragu juga untuk berangkat, tapi karena udah mengundur keberangkatan beberapa hari sebab sempet sakit akhirnya aku membulatkan tekat untuk berangkat ke Jakarta malam ini. Di Jakarta juga ada banyak saudara yang harus dikunjungi, dan aku harus pulang ke Pontianak tepat waktu karena banyak amanah yang menanti. “Belum rezeki mbak lah Shin, dapet ilmu dari beliau” jawaban yang pasrah banget dan cukup efektif membuat Shinta menghentikan rayuannya meski dari wajahnya terlihat raut kecewa, jangankan dia yang ngajak.. ana yang diajak kaya’nya lebih kecewa deh tapi mau diapain lagi.
“….kepada Bapak Endri Nugraha Laksana dari Jakarta, kami persilahkan ke atas panggung” ucapan MC membuatku menghentikan nostalgia –klo ga bisa dibilang lamunan- “yah..bukan Ust. Nono deh kaya’nya” batinku, tapi entah kenapa aku tetap yakin klo ustad yang kini berada di depan ku adalah Ust. Nono. Tiba-tiba mbak Fitri berbisik “tuh…kan bener! itu Ustad Nono!! Tapi koq MC-nya tadi bilang ustadnya dari Jakarta ya?”. Yang ditanya Cuma senyum.
Karena panitia ga nyediakan form Curriculum Vitae, jadi sebelum memaparkan materi para pembicara terlebih dulu memperkenalkan diri. Dimulai dengan Pak Endri Nugraha Laksana, dan setelah memperkenalkan diri beliau meluruskan ucapan MC yang mengatakan beliau berasal dari Jakarta, “saya dari Yogya, hanya tadi malam transit di Jakarta”.
“Tuh…kan bener, Uts. Nono tuh!! pantesan wajahnya ga asing” ujar mbak Fitri girang. Aku hanya senyum-senyum meski ga dapat dipungkiri klo aku juga seneng banget, meski yang dateng bukan Pak Cah tapi yang gantiin adalah Ust. Nono. Alhamdulillah….ketemu juga akhirnya dengan yang namanya Ust. Nono, yang dua tahun lalu menjadi salah satu alasan berat rasanya meninggalkan Yogya. Ga kebayang akhirnya bisa berada di majelis ilmu bersama beliau, barakallah…. Klo rezaki, ga bakal lari kemana. Mungkin dua tahun lalu belum rizekinya untuk mendapatkan ilmu dari beliau atau mungkin memang belum saatnya mendapatkan ilmu yang beliau paparkan. Tapi yang pasti hari ini aku merasa sangat bersyukur berada di majelis ini. Wallahu’alam wastaghfirullah….
Untuk Shinta dan ‘teh Uyun, kaifa hal ukhti fillah..?! Kangen buanget euy, makasih atas tumpangannya di kos-an, makasih atas pinjeman baju birunya, makasih udah diajak ikutan rapat di gembira loka pagi-pagi, makasih udah nemenin belanja di malio boro, makasih udah nemenin beli cincin, makasih udah nganterin ke Kota Gede, makasih ngerawat dan perhatiin aku paslagi sakit, tengkyu buangeet..nget..nget sampe ngenget for every thing; hanya Allah yang bisa membalas kebaikan kalian dengan sebaik-baik balasan. Afwan ya..fotonya blum dikirim juga, negatifnya ilang sih. Mudah2an kita bisa ketemu lagi ya…. Miz u,ukh…
Selengkapnya...

Minggu, 02 Juli 2006

Renungan Untuk Adik Tercinta

Mereka duduk berdua di dalam kamar, ikhwan dan akhwat itu sedang berbincang dari hati ke hati, sebagai seorang kakak dengan adiknya juga sebagai sesama aktivis dakwah. Hmm….ternyata mereka tengah bicara mengenai pernikahan, mungkin karena usia mereka hanya terpaut satu tahun dan keduanya juga sudah memasuki usia yang cukup dikatakan layak untuk menikah, jadi pembicaraannya terlihat sangat akrab (namanya juga kakak-adik J). “Kak…kalo’ bise nanti cari suami jangan yang kurus ye? Adek kan badannya besar nanti susah kalo’ jalan same suami kakak trus kalo’ bise yang bla…bla….” si ikhwan mengemukakan harapannya. Kakaknya menanggapi dengan menulis di buku catatannya sambil protes “masa’ kriterianye masalah fisik sih dek”, di dalam hati si akhwat ia berguman “iya kakak catat, tapi Cuma dicatat jak…”. Si adek lalu melontarkan sebuah pertanyaan “kak, kalo’ adek nikah sama akhwat yang ndak ngaji gimana?”. Si kakak lalu menjawab dengan bijak “yaa ndak pape-lah, kalo’ namenye jodoh mau diapekan lagi” ia kemudian menghela nafas “asal adek nanti siap jak nyucikan bajunye, sementara istri adek pergi kemane-mane, mending perginya untuk dakwah, ini perginye ke mall atau jalan-jalan. Trus adek siap ndak liat istri adek pake baju you can see, dandan trus laki-laki lain lihat istri adek kaya’ gitu” paparnya. “Lalu adek siap ndak, di tengah amanah adek sebagai suami dan da’I, istri adek menuntut waktu dan perhatian lebih bahkan seringkali meminta tambahan uang lebih untuk beli baju ataupun perhiasan?! Sedangkan umat juga butuh waktu, fikiran, tenaga dan dana yang bukan tenaga sisa, waktu sisa, tenaga sisa, dan dana sisa..?!. Sementara adek di luar rumah harus mengeluarkan energi besar untuk keluarga dan dakwah, ketika kembali ke rumah adek tidak menemukan sesuatu yang dapat mengembalikan energi, terutama energi spiritual adek. Se”jelek-jelek”nya akhwat dek, kalo’ dalam perjalanan rumah tangga kalian ada masalah, setidaknya kita bisa minta bantu murabbiyahnya, kita bisa membicarakannya dengan bahasa keimanan. Bedakan antara cinta nafsu dan cinta untuk menghantarkan kita pada ridho Allah. Kalo’ adek bisa menjamin menikah dengan yang pemahamannya terhadap dakwah tidak sekufu sama adek bisa menghantarkan adek kepada Jannahnya Allah, tafadhol…..” panjang lebar si kakak mencoba memahamkan adiknya. Yang di ajak bicara hanya diam saja, memikirkan perkataan kakaknya tercinta. Malam sudah mulai larut, mereka mengakhiri pembicaraan. Si ikhwan pun berlalu meninggalkan kamar sang kakak sambil merenungi perkataan kakaknya.

seperti yang dituturkan seorang sahabat kepada laut_biroe@30606_11.30am

Jazakillah ya say, kita sama-sama saling mendo’akan supaya adik-adik kita jadi salah satu dari sekian banyak ikhwan tangguh, moga adik-adik yang kita cintai itu bisa menjadi seperti apa yang Allah dan Rasul-Nya harapkan dan moga kita kelak dipertemukan oleh Allah di Jannah-Nya bersama orang-orang yang kita cintai,amiin…

Selengkapnya...

Belajar Dari Ibrahim


By : Snada
Sering kita merasa taqwa, tanpa sadar terjebak rasa
dengan sengaja mencuru-curi, diam-diam ingkar hati
Pada Allah mengaku cinta, walau pada kenyataannya
pada harta pada dunia, tunduk seraya menghamba

Belajar dari Ibrahim, belajar taqwa kepada Allah
belajar dari Ibrahim, belajar untuk mencintai Allah
Belajar dari Ibrahim, belajar taqwa kepada Allah
belajar dari Ibrahim, belajar untuk mencintai Allah

Malu pada bapak para anbiya
patuh dan ta’at pada Allah semata
Tanpa pernah mengumbar kata-kata
jalankan perintah tiada banyak bicara
Selengkapnya...

Pandangan Mata
By : Snada

Pandangan mata selalu menipu
pandangan akal selalu tersalah
pandangan nafsu selalu meluluh
pandangan hati itu yang hakiki, kalau hati itu bersih

hati kalau terlalu bersih pandangannya akan menembus hijab
hati jika sudah bersih, firasatnya tepat karena Allah
Tapi hati bila dikotori bisikannya bukan lagi kebenaran,
tapi hati bila dikotori bisikannya bukan lagi kebenaran….

Hati tempat jatuhnya pandangan Allah,
jasad lahir tumpuan manusia
Utamakanlah pandangan Allah,
daripada pandangan manusia Selengkapnya...

Mengemis Kasih


By : Raihan

Tuhan dulu pernah aku menagih simpati

kepada manusia yangg apa jua bukan

Lalu terhiritlah aku di lorong gelisah

luka hati yang berdarah kini jadi kian parah

Semalam sudah sampai ke penghujungnya

kisah seribu duka kuharap sudah berlalu

Tak ingin lagi ku ulangi kembali

gerak dosa yang mengiris hati

Tuhan…dosaku menggunung tinggi

tapi rahmatMu melangit luas

Harga selautan syukurku

hanyalah setitis nikmatMu di bumi

Tuhan…walau taubat seribu bukit

namun pengampunanMu tak pernah bertepi

Jika selangkah ku datang padaMu

seribu langkau Kau rapat padaku

Selengkapnya...

Apa yang Dapat Kulakukan untukmu, Saudaraku…?

No body Is Perfect _ famous term

Hal ini pasti menjadi dasar ketika kita “memandang” karakter ataupun dalam mengevaluasi kerja-kerja para pelaku dakwah. So... NIP. Selain Allah yang Haq.

Saat kita bersemangat, memiliki level iman yang stabil atau sedikit lebih baik, kita seolah-olah melihat saudara kita pun seperti kita. Menerapkan standar stabilitas keimanan kita kepada saudara-saudara kita, atau bahkan adik (ikhwah baru) kita. Maka, ketika kondisi saudara kita tidak stabil, sedang mengalami fluktuasi iman, futur, kita pun menganggapnya sebagai kader manja. Kita melihatnya dengan perspektif berbeda dengan apa yang dirasakannya atau yang dibutuhkannya. Kita yang stabil memaksa agar ia bisa survival bertahan di garis keimanan. Sehingga kita tidak merasa terlalu perlu untuk memberinya nasihat, atau motivasi-motivasi keimanan. Sementara betapa ia butuh sentuhan-sentuhan perhatian kita.
Kita berpikir bahwa suatu saat, kita akan hidup sendiri tanpa seorang ikhwah yang menemani di suatu daerah. Sehingga kita mengira bahwa kita harus bersiap-siap untuk hal tersebut. Maka ketika ada seorang yang futur, kita bersikap seolah-olah tidak peduli padanya. Dan ketika dia benar-benar mengucapkan “selamat tinggal”, kita menyalahkannya atas kelemahannya. Kita menyelamatkan diri atas kesalahan dari futurnya saudara, dengan hiburan-hiburan bahwa ini adalah sunatuddakwah.
Tidak sedikit kita dengar kisah-kisah futurnya ikhwah dari barisan ini setelah tarbiyah bertahun-tahun. Bukan hal yang mengejutkan memang, ulama bahkan ada yang murtad, berganti haluan, ustadz pun ada yang terjatuh, saat tergiur dengan indahnya dunia. Kehilangan seorang yang telah memiliki kepahaman dan mobilitas dakwah yang tinggi, apakah bisa diganti dengan masuknya 50 orang baru dalam barisan ini, tanpa kepahaman dan aksi dakwah yang mapan? Lepasnya seorang kader produktif apakah bisa ditutupi dengan hiburan bahwa 50 baru orang yang baru-baru mengikuti daurah tahap awal, dengan produktifitas dakwah yang masih nol?
Mungkin ada rasa marah ketika melihat saudara kita melakukan kesalahan, tapi bukan berarti tidak ada pintu untuknya kembali dalam hangat nuansa ukhuwah, indahnya berjuang bersama dan nikmatnya munajat di sepertiga malam terakhir bukan…?! Seberapa besar kontribusi kita untuk membantu saudara kita yang tengah mengalami fluktuasi iman, bias jadi suatu saat kita mengalami hal yang sama….. Seberapa sering namanya kita sebut dalam munajat di sepertiga malam terakhir? Sudah berapa tausiyah yang kita berikan kepadanya? Apakah kita hanya bisa men-judge tanpa memberi solusi atau hanya bisa membicarakannya di belakang kita padahal belum tentu amal kita lebih baik darinya. Sudahkan kita menanyakan padanya hari ini “apa yang dapat kulakukan untuk menahanmu di sini, saudaraku….tetap berada di jalan dakwah ini….??”

laut_biroe@duka,300606 (untuk seorang sahabat: ana ikhlas jika taujih maupun segala upaya untuk menahanmu di jalan ini harus di bayar dengan kehilangan seorang sahabat jika itu bisa menjadi mahar agar engkau tetap berada di sini, di jalan dakwah yang mulia ini… Bagi ana kehilangan seorang sahabat jauh lebih baik-meskipun sakit-, daripada dakwah ini harus kehilangan orang se-potensial antum…. Jika ana tidak bisa lagi “mencuri” gagasan dan mimpi-mimpi besar yang sering antum lontarkan, sungguh….itu jauh lebih baik-meski pedih-, daripada dakwah ini yang kehilangan ide-ide cemerlang antum….)

Catatan Penting : “No Body is Perfect”, “Kita Bukan Malaikat” atau kalimat sejenis jangan dijadikan justifikasi bagi mereka yang sedang mengalami fluktuasi keiman!!

Selengkapnya...